MAKALAH 3
GENDER
DALAM YAHUDI
Nasrullah dan Rindi Atika
ABSTRAK
Kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa era sekarang ini kedalam era
globalisa. Hal ini bisa dilihat adanya perubahan-perubahan yang sangat
fundamental disemua sektor kehidupan dari sosial hingga politik. Diantaranya
lahirnya “knowladge society” yang ditandai dengan dominasi otoritas ilmu
pengetahuan dalam kehidupan manusia dan global village yang memperkecil makna
ruang, waktu, tempat dan jarak interaksi antar individu. Selain itu, adanya
penempatan posisi yang sama dalam fungsi dan peran perempuan yang ada dalam
masyarakat kita yang diungkit-ungkit sebagai persamaan gender.
Sekarang
ini hal itu telah menjadi perbincangan penting dari semua pihak karena realitas
perbedaan gender yang berimplikasi pada perbedaan status, peran dan tanggung
jawab antara laki-laki dan perempuan yang menimbulkan ketidakadilan gender atau
diskriminasi maupun penindasan. Ketidakadilan ini dapat terjadi di berbagai
bidang kehidupan, baik dalam wilayah domestik maupun publik, dalam bidang
pendidikan, kesehatan, keamanan, ekonomi, politik, maupun pembangunan secara
lebih luas. Problem ketidakadilan gender ini dalam banyak kasus menjadi isu
yang cukup sensitif dan tidak mudah dipecahkan, terutama ketika terkait dengan
doktrin agama, bahkan seolah-olah mendapatkan legitimasi teologis.[1]
Hal itu dipengaruhi oleh pemahaman tehadap teks-teks keagamaan yang tidak
berspektif gender. Kesadaran masyarakat atas doktrin-doktrin agama yang telah
mengakar kuat belum bisa beranjak dari sikap diskriminatif perempuan. Banyak
teks-teks agama yang timpang gender karena pemahaman teks secara tekstual.[2]
diskursus permasalahan kesetaraan gender ternyata tidak hanya diperbincangkan dalam agam islam saja tetapi juga dalam agama Yahudi. Hal ini karena adanya sikap subordinasi perempuan atas laki-laki. Dalam tataran kehidupan sosial dikalangan orang yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Sebaliknya jika perbuatan itu dilakukan oleh perempuan lantas hal itu dipertanyakan terlebih dahulu seakan akan ada kesalahan didalamnya.
diskursus permasalahan kesetaraan gender ternyata tidak hanya diperbincangkan dalam agam islam saja tetapi juga dalam agama Yahudi. Hal ini karena adanya sikap subordinasi perempuan atas laki-laki. Dalam tataran kehidupan sosial dikalangan orang yahudi, laki-laki mempunyai posisi yang lebih dominan dibandingkan dengan perempuan. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan gender. Ketika suatu perbuatan itu dilakukan oleh laki-laki, maka dianggap sebagai suatu kebenaran. Sebaliknya jika perbuatan itu dilakukan oleh perempuan lantas hal itu dipertanyakan terlebih dahulu seakan akan ada kesalahan didalamnya.
BAB II
RELASI GENDER DALAM AGAMA YAHUDI
A.
BIAS JENDER
DALAM TALMUD
Doktrin tentang
kesetaraan gender sebenarnya sudah diungkapkan dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru yang menjadi fondasi utama bagi umat Kristiani-Yahudi, baik
secara eksplisit mau pun implisit. Seperti yang tertulis dalam perjanjian lama
dalam Kitab Kejadian 1:27 tentang penciptaan yang menyebutkan bahwa laki-laki
dan perempuan diciptakan dalam image (rupa) Tuhan, yang berbunyi “maka Allah
menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya
dia; laki-laki danperempuan diciptakan-Nya mereka”.[3]dan
disebutkan pula dalam Injil. Dan al Kitab dengan tegas mengajarkan bahwa
laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kesempatan untuk menebus dosa dan
keselamatan. Doa-doa yang dipanjatkan baik laki-laki maupun perempuan akan
dikabulkan.
Dalam tradisi Yahudi, perempuan disatu
sisi digambarkan sebagai makhluk yang kuat, baik dan sopan seperti Batsheba
sebagai perempuan yang pandai, Deborah seorang nabi perempuan, Ruth seorang
yang terpandang dan Esther seorang juru selamat rakyatnya. Namun, dalam tradisi
Yahudi juga ditemukan ajaran bahwa perempuan merupakan asal mula dosa dan juga
melalui perempuan manusia akan mati. Laki-laki harus bekerja dan perempuan
harus melahirkan dalam kesakitan.
Perempuan
yang sedang menstruasi dan 7 hari selebihnya dianggap kotor dan tidak suci, bahkan
harus disembunyikan di goa-goa gelap atau diasingkan dan sebagainya. Perempuan
yang melahirkan, 33 hari dianggap kotor apabila anaknya laki-laki. Kalau
anaknya perempuan, maka masa tidak sucinya atau kotornya menjadi berlipat. Jika
telah selesai masa tidak sucinya, ia harus mencari pendeta untuk membuat
penebusan dosa untuknya.
Gender dalam
pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama misalnya dalam kaca mata Yahudi sarat
dengan pandangan tentang Allah sebagai Bapa yang mahakuasa, suka marah,
menghukum. Pandangan Allah sebagai Bapa dalam masyarakat Yahudi ini
menunjuk pada dominasi laki-laki, sehingga dasar membuat pranata kehidupan juga
atas dasar pandangan laki-laki. Dominasi ini menciptakan ketidakadilan dalam
masyarakat yang menggeser perempuan tanpa disadari oleh kaum perempuan itu
sendiri. Pranata kehidupan yang dibuat atas dasar peran laki-laki dianggap
sebagai suatu kebenaran.
Perbedaan
biologis di antara manusia menjadi objek dasar pembuatan pranata kehidupan
(pandangan seksis). Kitab Kejadian, Keluaran, I Raja-raja, II Raja-raja,
Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, Hosea, dalam Perjanjian Lama sangat sarat dengan
peringatan akan penguasa sewenang-wenang yang membuat pranata kehidupan tidak
manusiawi ini.[4] Dalam pandangan Yahudi, martabat perempuan sama
dengan pembantu. Mereka menganggap perempuan adalah sumber laknat karena
dialah yang menyebabkan adam diusir dari surga.[5]
Dalam
Yahudi mempercayai sebuah kepercayaan dasar: bahwa laki-laki dan wanita adalah
ciptaan Tuhan, Pencipta alam semesta. Tetapi, silang sengketa segera muncul
sesudah diciptakan pria pertama Adam, dan wanita pertama, Hawa. Konsepsi Yahudi
dalam hal penciptaan Adam & Hawa diuraikan secara rinci bahwa Tuhan
melarang mereka memakan buah dari pohon terlarang. Ular datang dan membujuk
Hawa untuk memakannya, dan selanjutnya, Hawa membujuk Adam untuk makan
bersamanya. Ketika Tuhan menegur Adam atas apa yang telah dilakukannya
tersebut, Adam meletakkan kesalahan semua kepada Hawa: "Wanita yang kau
berikan kepada saya, dia memberi buah tersebut kepada saya, lalu saya
memakannya." Akibatnya Tuhan berkata kepada Hawa: "Saya akan menambah
kesusahan kepadamu pada waktu kamu hamil dan pada waktu kamu
melahirkan.Hasratmu hanya untuk suamimu dan dia akan mengatur kamu."
Kepada
Adam, Tuhan berfirman: "Karena kamu mendengarkan apa yang dikatakan
isterimu sehingga kamu mematuhinya dan memakan buah tersebut...saya turunkan kamu
kebumi, kamu akan memakan segala sesuatu yang adadibumi sampai kamu
mati..."
Para
Pendeta Yahudi telah memberikan sembilan kutukan yang dibebankan kepada wanita
sebagai hasil dosa Adam & Hawa, diantranya
1.
beban berupa darah menstruasi
2.
darah keperawanan
3.
kehamilan
4.
kelahiran
5.
membesarkan anak
6.
menutup kepala ketika
berkabung
7.
menjadi budak yang melayani
tuannya
8.
tidak dipercaya kesaksiannya
dan
9.
kematian.
Hingga
saat ini, orang Yahudi Ortodoks, dalam setiap kali berdo'a mengatakan,
"Terimakasih Kepada Tuhan, Raja Alam Semesta, karena tidak
menjadikan kami seorang wanita".
B.
CITRA PEREMPUAN
DALAM TRADISI YAHUDI
Perempuan dalam
pandangan agama yahudi tidak tidak jauh beda denagn perempuan dikalangan agama
Kristen. Karena keduanya memilki kesamaan kitab suci, hanya saja Yahudi
memngakui keberadaan perjanjian baru sebagai bagina dari kitab suci mereka.
Berikut beberapa hal yag berkaitan dengan pandangan Yahudi terhadap perempuan.
1.
Kedudukan perempuan dalam agama Yahudi
Sebagaimana Kristen dalam memandang kaum perempuan
sebagai sumber dosa Yahudi juga menganut hal itu. Dialah yang menyebabkan adam
dihukum dan diusir dari surga, selain itu gejala-gejala kewanitaan yang dialami
perempuan normal merupakan sebuah kutukan. Para pendeta Yahudi menulis 9
kutukan yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya.[6]
Kedudukan perempuan yang rendah ini juga bisa
dilihat ketika orang laki-laki Yahudi berdoa “terpujilah Tuhan yang tidak
menciptakanku sebagai seorang perempuan.” Hal ini telah berkembang hampir di
semua lapisan masyarakat Yahudi. Agustinus berpendapt bahwa peran wanita hanya
melahirkan. Pendapat lebih merendahkan disampaikan oleh St. Tomas Aquinas.
Mereka memandang perempuan sebagai orang yang tidak sempurna.[7]
2.
Perempuan dan Perzinaan
Salah satu bentuk kezaliman Yahudi terhadap
perempuan ialah adanya perzinahan. Definisi zina memnurut kalangan Yahudi ialah
hubungan badan layaknya suami istri yang dilakukan oleh laki-laki dengan wanita
yang sudah menikah. Menurut mereka hubungan badan dengan wanita yang
belum nikah tidak dikatakan perzinaan meskipun pihak laki-laki sudah menikah.
Dalam pandangan Yahudi, istri dianggap milik suami, jadi jika ada laki-laki
yang berhunungan dengan wanita single tidak apa-apa anaknnya dianggap sah,
sedanga wanita yang sudah menikah dan berselingkuh maka anaknya tidak dianggap
sah, bahkan mereka juga dipandang haram.[8]
3.
Nazar
Ialah janji seseorang atas dirinya sendiri
untuk melakukan ibadah kepada Tuhan (Allah) yang pada dasarnya tidak wajib
ketika tidak bernazar.[9] Dalam
ajaran Yahudi seorang ayah memiliki hak mutlak dalam nazar anak perempuannya
begitu pula dengan suami memiliki hak yang sama seperti ayah dimana mereka
bolah membatalkan nazar yang telah dilakukan oleh anak atau istri mereka.[10]
4.
Hak
milik istri
Dalam ajaran Yahudi, seorang istri disamakan
dengan budakyang nantinya akan berimplikasi pada hak kepemilikan seorang
perempuan. Setelah pernikahan, seluruh harta yang dimiliki istri berubah
menjadi milik suami. Seorang istri yang bekerja maka penghasilannya untuk suami
sebagai balasan atas pemeliharaan dirinya yang menjadi kewajiban suami. Tidak
hanya kepemilikan yang hilang setelah pernikahan, mahar dalam ajaran Yahudi
menjadi beban seorang wanita. Sehingga seorang perempuan merupakan beban
keluarga. Hak milik istri menjadi miliknya ketika cerai atau suami meninggal.
5.
Poligami
Poligami secara hukum agama Yahudi dibolehkan.
Sebagaimana praktek poligami yang dilakukan oleh pendahulu mereka. Hal ini
seperti yang dilakukan oleh pembesar Yahudi antara lain king Salomon memiliki
700 istri dan 300 wanita simpanan.[11] Kisah
Sulaiman yang memiliki istri yang banyak juga dibenar Nabi SAW.
عَنْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : قَالَ سُلَيْمَانُ
بْنُ دَاوُدَ عَلَيْهِمَا السَّلاَمُ لأَطُوفَنَّ اللَّيْلَةَ عَلَى مِئَةِ
امْرَأَةٍ ، أَوْ تِسْعٍ وَتِسْعِينَ كُلُّهُنَّ يَأْتِي بِفَارِسٍ يُجَاهِدُ فِي
سَبِيلِ اللهِ فَقَالَ لَهُ صَاحِبُهُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ فَلَمْ يَقُلْ إِنْ
شَاءَ اللَّهُ فَلَمْ يَحْمِلْ مِنْهُنَّ إِلاَّ امْرَأَةٌ وَاحِدَةٌ جَاءَتْ
بِشِقِّ رَجُلٍ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْ قَالَ إِنْ شَاءَ
اللَّهُ لَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللهِ فُرْسَانًا أَجْمَعُونَ.
Artinya:
“Dari Rasulullah SAW, ia bersabda: Sulaiman bin Dawud ‘alaihima
salam’ berkata, ‘Sungguh aku akan berkeliling kepada seratus atau sembilan
puluh sembilan istriku dalam satu malam, semuanya akan melahirkan seorang
prajurit pasukan kuda yang akan berjihad di jalan Allah. ‘seorang sahabatnya
menyahutinya, ‘insyaAllah.’ Tapi Sulaiman tidak mengucapkan insyaAllah. Maka
tak seorang pun di antara mereka yang hamil kecuali seorang saja yang
melahirkan setengah laki-laki. Demi Dzat yang diri Muhammad ada di tangan-Nya,
seandainya dia mengatakan InsyaAllah, niscaya semuanya (akan melahirkan) para
penunggang kuda yang berjihad di jalan Allah.”(HR. al Bukhari)
Dari sini bisa diketahui bahwa poligami telah
ada dalam syari’at terdahulu. Dan tatkala Allah mengutus Nabi Musa ‘alaihi
salam maka dia menyetujui tanpa membatasi jumlah perempuan yang ingin dinikahi
oleh seorang laki-laki, sampai kemudian Bani Talmud mengeluarkan ketetapan
pembatasan poligami. Sebagian ulama Bani Israil ada yang melarang poligami
tetapi sebagian yang lain membolehkan dengan alasan: apabila istri sakit,
mandul atau demi menghindari penghianatan dan sebagainya. Dalam kitab Talmud
yang ada di tangan kaum Yahudi membolehkan poligami, akan tetapi Talmud
membatasi dengan jumlah dan batasan tertentu.[12]
Larangan
poligami dalam ajaran Yahudi adalah mengambil saudara kandung istri. Hal ini
sebagaimana tertera dalam Taurat. “Janganlah kau ambil seorang perempuam
sebagai madu kakanya untuk menyingkap auratnya di samping kakaknya selama
kakaknya masih hidup”.[13]
Pada abad-abad pertengahan, Yahudi masih
melakukan poligami dengan banyak istri sampai kemudian para rahib mereka
melarang poligami. Hal ini karena kondisi ekonomi yang berat dihadapi oleh kaum
Yahudi pada masa-masa tersebut. Larangan poligami tersebut dikeluarkan pada
abad XI dan kemudian disahkan perhimpunan gereja di kota Warms di Jerman.
Larangan ini pada mulanya hanya bagi kaum Yahudi di Jerman dan Yahudi Perancis
Utara, tapi kemudian mencakup semua kaum Yahudi di dataran Eropa. Setelah itu
mulailah undang-undang perdata kaum Yahudi melarang poligami, bahkan seorang
suami diharuskan untuk bersumpah ketika melaksanakan akad nikah, bahwa jika
seorang suami hendak mengawini orang lain, maka dia terlebih dahulu harus
menceraikan istrinya yang pertama dan ia wajib membayar semua hak-hak istri,
kecuali istri pertamanya mengizinkannya untuk kawin lagi, itu pun dengan syarat
dia harus mampu memberi nafkah kedua istri dan mampu berbuat adil di antara
keduanya, dan poligami ini harus memiliki legalitas hukum yang sah, seperti
mandulnya istri pertama.[14]
6.
Perceraian
Dalam
kalangan Yahudi pintu perceraian sangat terbuka lebar dengan alasan apapun.[15] Para
sarjana Yahudi berbeda pendapat tentang alasan bolehnya suami
menceraikan istri. Madzab Syammai berpendapat bahwa seorang laki-laki
seharusnya tidak menceraikan istrinya jika dia tidak mendapatkan istrinya
melakukan kejahatan seksual. Sementara Hillel mengatakan bahwa seorang laki-laki
boleh menceraikan istrinya meskipun Cuma karena istrinya tidak bisa menyajikan
makan. Rabi Akiba mengatakan bahwa laki-laki boleh menceraikan istrinya
meskipun cuma karena dia menemukan perempuan yang lebih cantik dari padanya.
Istri tidak bisa berinisiatif untuk bercerai
berdasarkan hukum Yahudi, tetapi istri dapat mengklaim hak untuk bercerai
dipengadilan yahudi jika ada alasan yang kuat. Tetapi kendali cerai tetap
ditangan suami. Mereka bisa meninggalkan istri dan hidup dengan wanita lain dan
memiliki anak. Sedang perempuan tidak bisa.
7.
Hak
Waris
Dalam agama Yahudi menyatakan bahwa anak
laki-laki lah yang merupakan pewaris utama dari orang tuanya. Kalau anak
laki-laki ini banyak maka yang tertua lah yang lebih utama, dan memperoleh
warisan dua kali lipat dari bagian saudara-saudara yang lain.hal ini karena
tradisi yang terus menerus dan tidak terputus-putus sejak masa Bible adalah
tidak memberikan hak pewarisan atas kekayaan keluarga kepada anggota keluarga
yang perempuan, istri dan anak-anak mereka yang perempuan. Sedangkan anak
perempuan yang belum berumur dua belas tahun tidak berhak menerima warisan.
Dalam skema pewarisan yang lebih primitive, anggota-anggota keluarga yang
perempuan dianggap sebagai bagian kekayaan dan seperti layaknya budak dia
secara hukum tidak memiliki hak waris sementara dalam ketentuan pelaksanaan
Musa, anak perempuan diakui hak warisnya pada saat tidak ada anak laki-laki
dalam keadaan seperti itu, seorang istri tetap tidak diakui sebagai pewaris.
Kedudukan
seorang istri atau anak perempuan berdasarkan hukum Yahudi adalah lemah sekali. Seorang wanita
yang sudah dikawinkan, menjadi seolah-olah dibeli oleh suaminya dari bapaknya,
dan suaminya menjadi tuannya. Ia tak ubahnya sebagai anak kecil. Ia tidak
berhak membeli ataupun menjual. Semua harta bendanya menjadi milik suaminya.
Istri tidak berhak memiliki apa-apa selain maskawin yang diterimakan kepadanya.
Disamping itu, kaum wanita sebagai istri wajib melakukan semua pekerjaan rumah
tangga, baik yang berat maupun ringan. Kewajiban ini harus dilaksanakan dengan
taat.[16]
Sementara dalam buku Fundamentalism and
Woman in World Religions, yang diedit oleh Arvind Sharma dan Katherine
K. Young, dijelaskan: As we shall see, women’s roles are a profound
symbol of the extent to which Jewish societies accept—or reject—modernity and
Westernization. (Seperti kita akan lihat, peran perempuan adalah simbol
yang mendalam sejauh mana masyarakat Yahudi menerima atau menolak--modernitas
dan westernisasi). Artinya, dalam masyarakat Yahudi kontemporer justru
perempuan mendapatkan penilaian khusus dengan menjadi sebuah simbol diterima
atau ditolaknya modernitas dan westernisasi.[17]
Dalam kehidupan Yahudi Kontemporer, keberadaan
gender menjadi salah satu kunci penting untuk memahami peran fundamentalisme,
yang berdampak pada konstruksi identitas perempuan yahudi, budaya yahudi, dan
kehidupan perempuan yahudi. Contemporary
social scientists assume that while certain aspect of sexuality are
biologically determined, gender roles are constructed by societies.(Ilmuwan
sosial kontemporer mengasumsikan bahwa sementara aspek-aspek tertentu dari
seksualitas secara biologis ditentukan, peran gender yang
dibangun oleh masyarakat).
Dalam upaya membangun tatanan baru dunia,
pejuang Feminis Yahudi dan Kristen, berusaha melakukan koreksi terhadap
dominasi laki-laki atas teologi dan marginalisasi serta eksklusi perempuan dari
wilayah agama. Mereka mengembangkan teologi feminis, sebagaimana yang muncul di
Inggris sejak abad ke-17. Teologi feminis berupaya membaca ulang teks suci dari
perspektif perempuan dan mencari dasar teologis bagi pengakuan harkat dan
martabat perempuan.[18]
Peran perempuan adalah simbol yang mendalam sejauh mana masyarakat
Yahudi menerima atau menolak--modernitas dan westernisasi, artinya dalam
masyarakat Yahudi kontemporer justru perempuan mendapatkan penilaian khusus
dengan menjadi sebuah simbol diterima atau ditolaknya modernitas dan
westernisasi.
C.
TEOLOGI FEMINIS
DAN REKONSTRUKSI PERAN PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT YAHUDI
Berbicara
mengenai gender berarti membicarakan peran dan hubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat. Perbedaan gender tidak menjadi masalah sepanjang
tidak melahirkan ketidakadilan, tetapi ia menjadi persoalan karena
perbedaan gender ini seringkali menimbulkan ketidakadilan. Adapun bentuk-bentuk
ketidakadilan gender dimaksud adalah stereotipe, marjinalisasi,diskriminasi,
tindak kekerasan dan beban kerja. Oleh karena itu diperlukan upaya menciptakan
relasi laki-laki dan perempuan yang adil dan harmonis.
Gerakan mistik
Yahudi abad pertengahan disebut dengan Kabbalah, gerakan ini menekankan
suatu aspek yang bersifat perempuan dalam ketuhanan. Selain Kabbalah terdapat
juga gerakan Haidisme, kedua gerakan ini tidak memberikan perempuan ruang untuk
bergerak dan maju baik dalam bidang keagamaan maupun kenegaraan. Pada tahun
1846 yahudi reformasi mengadakan konferensi Breslau, ini bertujuan untuk
menjadikan perempuan setara dalam bidang keagamaan, namun hanya mendapat
perhatian yang kecil bahkan dari kalangannya sendiri.
Salah satu
tokoh yaitu Henrietta Szold perempuan yang mandiri pendiri organisasi medis Hadassah,
pemikirannya membatasi perempuan dalam bidang domestik. Dan Rabbi Isaac Mayer
selalu mencoba mendorong perempuan untuk maju dan berpartisipasi dalam
sekolahnya namun tak ada satupun perempuan yang mendapat pentahbisan. Isu ini
baru muncul kembali pada tahun 1921 dan banyak perempuan yang menyelesaikan
studinya. Yang diakui menjadi Rabbi Umansky, salah satunya yaitu Sally Priesand
pada tahun 1972.
Menurut Erich Fromm seorang Yahudi, seorang
Psikoanalisis Sosial berkebangsaan Jerman yang juga merupakan anggota Partai
Sosialis Amerika era 1950-an, ia menyatakan bahwa hubungan antara kaum laki-laki
dan kaum perempuan adalah hubungan antara sebuah kelompok yang menang dan
yang kalah. Di Amerika Serikat tahun 1949 hal ini dianggap lucu ketika
mengatakan demikian, apalagi di zaman sekarang ini. Karena sudah jelas bisa
kita lihat, kaum perempuan di kota-kota besar tentu saja tidak tampak, tidak
merasa, dan tidak bertindak seperti layaknya kelompok yang kalah. Dia
menambahkan kaum perempuan telah menyelesaikan emansipasinya, dan oleh sebab
itu berada sejajar dengan kaum laki-laki, dan membuatnya bisa tampil.[19]
Tokoh berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita.“
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Tokoh berikutnya ialah Betty Friedan. Ia pernah mengatakan: “Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita.“
Kalimat di atas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.
Betty sendiri mulanya terlahir
dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tahun 1921 kemudian berkembang menjadi
aktifis feminis Yahudi Amerika pada tahun 1960-an. Puncak momuntumnya terjadi
ketika ia telah berhasil mengarang buku “The Feminine Mystique” yang dikemudian
hari menjadi buku rujukan kaum Feminis. Dimana dalam bukunya ia mengkritik
habis peran ibu rumah tangga yang mengekang kesehariannya hanya didalam rumah
saja yang sangat terkekang dan jauh dari pengahargaan terhadap hak bagi seorang
wanita sebagai bandingannya ia menggambarkan peran wanita dalam masyarakat
industry. Lama-kelamaan bukunnya pun terjual laris. Bahkan ada yang
menjadikannya sebagai “kitab suci” bagi kaum wanita.
Teori yang
sangat terkenal sekali darinya ialah apa yang disebut dengan istilah Androgini.
Androgini ialah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang
sama dalam karakter maskulin dan feminim pada saat bersamaan. Istilah ini
berasal dari dua kata dalam bahasa yunani yaitu anér, yang berarti
laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) ya ng dapat merujuk
kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender.
Namun sejatinya, kata Androgini muncul pertama
kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternatif
untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi. Akan
tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia
feminisme, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang
yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah
Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari
Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita
bekerja milik Friedan. Dalam bukunya, Radical future of Liberal
Feminism, Eisenstsein mengkritik.
BAB III
KESIMPULAN
Perdebatan tentang gender Banyak tokoh yang memiliki asumsi berbeda
satu sama lain, karena sumber pengetahuan mereka pun berbeda, maka ketika
menyikapi hal ini kita tidak bisa hanya merujuk satu sumber tokoh saja, harus
juga dibandingkan atau bahkan dicocokkan dengan sumber yang lain agar
tidak terjadi kesalahpahaman.
Dalam tradisi Yahudi, masalah gender ini adalah sesuatu hal yang masih
diperbincangkan, karena memang gender ini adalah masalah social antara
laki-laki dengan perempuan. Sebenarnya kalau kita lihat dari sisi social, tidak
ada perebedaan antara keduanya, namun ada hal lain yang menjadikan adanya
perebedaan di antara keduanya baik dari sisi peran, fungsi dan kedudukan.
Pada intinya, penulis menyimpulkan bahwa relasi gender dalam Yahudi ini
masih banyak persoalan yang belum terselesaikan, dan juga masih banyak hal yang
penulis belum ketahui, akan tetapi bisa dinyatakan bahwa gender dalam tradisi
Yahudi memandang perempuan sebagai makhluk Tuhan yang baik, patuh, dan memiliki
kemampuan luar biasa.
[1]Siti
Zubaedah. Mengurai
Problematika Gender dan Agama. (Jurnal
Studi Gender dan Anak. Pusat Studi Gender: STAIN Purwokerto)
[2]Siti Ruhaini, Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender dalam
Islam (Pustaka Pelajar: Yogyakarta), 2002
[6]
Islam
tidak Islam tidak mengenal dosa warisan sebagaimana
pandangan Yahudi dan Kristen yang mengatakan bahwa perempuan mewarisi dosa
Hawa. Pandangan Islam tentang perempuan ini berimplikasi pada penetapan hak dan
kewajiban. Ia memuliakan perempuan dengan memberikan hak-hak asasi mereka.
Hak-hak itu antara lain; hak waris al Nisa:7, hak hidup al Isra’: 31, dan hak
kepemilikan al Nisa:32
[7] Bunyi pandangan
St. Thomas Aquinas yang dikutip Sherif sebagai berikut “mengenai sifat alami
individu, perempuan itu kurang sempurna dan tidak murni, karena daya hidup dan
benih laki-laki cenderung untuk menghasilkan keturunan laki-laki yang sempurna.
Sedangkan keturunan perempuan berasal dari suatu kekurangan dalam daya hidup
atau dari beberapa bahan yang kurang sehat atau bahkan dari beberapa pengaruh
luar.” Sherif Abdel Azeem, Sabda Langit
[9] Abu Bakar Jabir
Al-Jaa’iri, Minhajul Muslim Pedoman Hidup Ideal Seorang Muslim,
Surakarta: Insan Kamil, 2009, Cet Pertama
[12] Karam Hilmi
Farhat, , Poligami Dalam Pandangan Islam, Nasrani & Yahudi, Jakarta:
Darul Haq, 2007, Cet pertama
[15] “jika seorang laki-laki menikahi seorang
perempuan yang tidak membahagiakannya karena dia merasa ada sesuatu yang tidak
cocok padanya, dan sang suami menulis surat cerai, dan memberikan padanya dan
mengeluarkannya dari rumahnya, dan kelak setelah dia meninggalkan rumahnya dia
menjadi istri-istri lain, dan suaminya yang kedua membencinya dan menulis surat
perceraian, dan memberikannya kepadanya dan mengeluarkannya dari rumahnya, atau
jika dia (suami) mati, maka suaminya yang pertama, yang menceraikannya, tidak
diijinkan untuk menikahinya lagi setelah dia menjadi kotor.”
[18] Siti Zubaidah, Mengurai Problematika Gender dalam Agama, Jurnal
Studi Gender dan Anak Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
[19] Erich Fromm, Cinta Seksualitas dan Matriarki (Jalasutra: Jakarta
dan Bandung), 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar